رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Ya
Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang
saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. Al-Ahqaf:
15)
Keistimewaan Umur 40 Tahun
Sebagian orang menyebut, umur empat puluh tahun
penuh teka-teki dan penuh misteri. Sehingga terbit sebuah buku berjudul,
"Misteri Umur 40 tahun" yang diterbitkan pustaka al-tibyan – Solo,
diterjemahkan dari buku berbahasa Arab, Ya Ibna al-Arba'in, oleh Ali bin Sa'id
bin Da'jam.
Seseorang yang sudah mencapai umur 40 tahun
berarti akalnya sudah sampai pada tingkat kematangan berfikir serta sudah
mencapai kesempurnaan kedewasaan dan budi pekerti. Sehingga secara umum, tidak
akan berubah keadaan seseorang yang sudah mencapai umur 40 tahun.
Al-Tsa'labi rahimahullah berkata,
"Sesungguhnya Allah menyebutkan umur 40 tahun kerana ini sebagai batasan
bagi manusia dalam keberhasilan maupun keselamatannya."
Ibrahim al-Nakhai rahimahullah berkata, "Mereka berkata (yakni para salaf), bahwa jika
seseorang sudah mencapai umur 40 tahun dan berada pada suatu perangai tertentu,
maka ia tidak akan pernah berubah hingga datang kematiannya."
(Lihat: al-Thabaqat al-Kubra: 6/277)
Allah Ta'ala telah mengangkat para nabi dan
Rasul-Nya, kebanyakan, pada usia 40 tahun, seperti kenabian dan kerasulan Nabi
Muhammad, Nabi Musa, dan lainnya 'alaihim al-Shalatu wa al-Sallam.
Meskipun ada pengecualian sebagian dari mereka.
Imam al-Syaukani rahimahullah berkata, "Para ahli tafsir berkata bahwa Allah Ta'ala tidak
mengutus seorang Nabi kecuali jika telah mencapai umur 40 tahun."
(Tafsir Fathul Qadir: 5/18)
Dengan demikian, usia 40 tahun memiliki kekhususan
tersendiri. Pada umumnya, usia 40 tahun adalah usia yang tidak dianggap biasa,
tetapi memiliki nilai lebih dan khusus.
Dihikayatkan, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi
adalah seorang laki-laki yang shalih, cerdas, sabar, murah hati, berwibawa dan
terhormat. Ia berkata, "manusia yang paling sempurna akal dan pikirannya
adalah apabila telah mencapai usia 40 tahun. Itu adalah usia, di mana pada usia
tersebut Allah Ta'ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
dan pikiran manusia akan sangat jernih pada waktu sahur." (Lihat:
al-Wafyat A'yan, Ibnu Khalkan: 2/245)
Disebutkan tentang biografi al-Hafidz Jalaluddin
al-Suyuthi, "Bahwa ketika mencapai umur 40
tahun ia berkonsentrasi untuk beribadah dan memutuskan diri dari hubungan
dengan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, dan ia berpaling
dari semua urusan dunia dan umat manusia, seakan-akan ia tidak pernah kenal
seorangpun dari mereka. Dan ia terus menyusun karya-karya tulisnya. . ."
(Syadzratu al-Dzahab: 8/51)
Al-Qur'an Menyebut Umur 40 Tahun
Cukuplah Al-Qur'an yang telah menyebutkan umur 40
tahun dengan tegas itu menjadi perhatian. Sehingga kita lihat, saat memasuki
usia ini para ulama salaf mencapai kebaikan amal mereka dan menjadikannya
sebagai hari-hari terbaik dalam hidupnya.
Allah Ta'ala berfirman,
حَتَّى
إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ
أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ
أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ
إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Sehingga
apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri"."
(QS. Al-Ahqaf: 15)
Umur 40 Tahun dan Syukur
Ayat di atas mengisyaratkan, saat sudah menginjak
usia 40 tahun hendaknya seseorang mulai meningkatkan rasa syukurnya kepada
Allah juga kepada orang tuanya. Ia memohon kepada-Nya, agar diberi hidayah,
taufik, dibantu, dan dikuatkan agar bisa menegakkan kesyukuran ini. Karena
segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini adalah dengan kehendak dan
izin-Nya, sehingga ia meminta hal itu kepada-Nya. Ini sebagaimana doa yang
diajarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu
'Anhu, "Aku wasiatkan kepadamu wahai Mu'adz, Janganlah engkau
tinggalkan untuk membaca sesudah shalat:
اللَّهُمَّ
أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِك ، وَشُكْرِك وَحُسْنِ عِبَادَتِك
"Ya Allah, bantulah aku untuk berdzikir,
beryukur, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu." (HR. Ahmad, Abu Dawud,
al-Nasai dengan sanad yang kuat)
Kerana sesungguhnya seorang hamba pasti sangat
memerlukan kepada pertolongan Tuhannya dalam menjalankan perintah, menjauhi
larangan, dan sabar atas ketetapan-ketetapan takdir-Nya. (Dinukil dari Subulus
Salam, Imam al-Shan'ani)
Sebenarnya bersyukur itu sepanjang umur. Dan
dikhususkan pada umur 40 tahun ini karena pada saat usia ini seseorang
benar-benar harus sudah mengetahui segala nikmat Allah yang ada padanya dan
pada orang tuanya, lalu ia mensyukurinya.
Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam
tafsirnya berkata, "Allah Ta'ala menyebutkan orang yang sudah mencapai
umur 40 tahun, maka sesungguhnya telah tiba baginya untuk mengetahui nikmat
Allah Ta'ala yang ada padanya dan kepada kedua orang tuanya, kemudian
mensyukurinya."
Sesungguhnya hakikat syukur itu mencakup tiga
komponen; hati, lisan, dan anggota badan. Hati dengan mengakui bahwa semua
nikmat itu berasal dari pemberian Allah. Lisan dengan menyebut-nyebut dan
menyandarkan nikmat itu kepada-Nya serta memuji-Nya. Sementara anggota badan
adalah dengan menggunakan nikmat itu untuk taat kepada-Nya, yakni untuk
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Oleh kerananya, disebutkan
dalam ayat, "Dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau
ridai."
Ditekankan Bersyukur Kepada Orang Tua
Saat seseorang berumur 40 tahun, maka ia memiliki
tanggungjawab di tengah keluarga dan masyarakat yang lebih besar. Anak-anak
memerlukan biaya yang lebih untuk pendidikan dan lainnya. Sementara orang
tuanya, pastinya sudah uzur dan sangat memerlukan bantuan dari anak-anaknya.
Di sinilah sering seseorang melupakan orang tuanya kerana penumpuannya yang
lebih terhadap keluarga dan anak-anaknya. Padahal seharusnya dengan
bertambahnya umur semakin membuat ia sadar akan jasa-jasa orang tuanya kepada
dirinya. Sehingga disebutkan dalam hadits, "Merugilah
seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang yang mendapatkan kedua
orang tuanya, salah seorang atau kedua-duanya, tapi tidak bisa masuk surga
(dengan itu)." Dalam riwayat lain, "Tapi keduanya tidak bisa
memasukkannya ke dalam surga." (HR. Ahmad dan lainnya)
Ayat tentang kewajiban berbuat ihsan kepada orang
tua di atas diawali dengan perintah untuk mentahidkan Allah, ikhlas ibadah
kepada-Nya, dan istiqamah di atasnya. Seolah menunjukkan, saat Allah
perintahkan untuk mentauhidkan-Nya ada di antara hamba yang menyambut dan ada
pula yang menentang. Sama juga dengan perintah berbakti kepada orang tua, ada
manusia yang berbakti kepada orang tuanya dan ada pula yang malah durhaka.
Juga mengisyaratkan, agar tidak membezakan dan
membentukan berbuat ihsan kepada orang tua dengan mentauhidkan Allah.
Sesungguhnya berbuat ihsan kepada kedua orang tua itu bagian dari ibadah kepada
Allah. Sehingga tidak boleh dalam berbuat ihsan tersebut melanggar nilai-nilai
ketauhidan. Walau besar hak orang tua atas anak, tidak boleh mentaati keduanya
dalam maksiat kepada Allah. Kerana tetaplah nikmat yang orang tua dapatkan itu
berasal dari Allah juga.
Bentuk berbuat ihsan kepada orang tua yang
diperintahkan dalam ayat tersebut mencakup segala bentuk berbuat baik seperti
memenuhi nafkah orang tua, memenuhi keperluannya, mentaati perintahnya yang
ma'ruf, menghidarkan dari bahaya, mengubatinya jika sakit, menghiburnya jika
sedih, dan memohonkan ampun dan doa untuk kedunya, serta yang lainnya.
Jangan Lupakan Keturunan
Sesudah seorang muslim diperintah berbuat baik
kepada orang yang di atasnya dan mengerjakan amal shalih untuk dirinya,
janganlah ia lupa terhadap anak keturunanya. Ia juga wajib memperhatikan
pendidikan dan pengarahan mereka, agar menjadi orang yang taat kepada Allah
Ta'ala. Kerana mereka adalah amanat yang harus diarahkan untuk taat kepada
Tuhan-Nya.
Dan sesungguhnya di antara balasan baik dari amal
shalih mereka adalah diperbaiki keturunan mereka. Baiknya orang tua akan
ada kesannya kepada perbaikan anak. Ini juga menjadi pelajaran, dalam melakukan
pendidikan kepada anak haruslah orang tua memulai dari menshalihkan diri mereka
dengan ilmu dan amal. Di samping supaya boleh menjadi teladan, baiknya anak
keturunan juga menjadi balasan bagi dirinya.
Syaikh al-Sa'di berkata dalam menafsirkan ayat di
atas, "Sesungguhnya baiknya orang tua dengan ilmu dan amal termasuk sebab
yang besar untuk baiknya anak-anak mereka."
Selain itu, berdoa sebagai bagian dari tawakkal
kepada Allah dalam usaha tidak boleh dianggap ringan. Kerana hati manusia itu
berada di antara dua jari dari jemari Allah Ta'ala yang diarahkan kepada Dia
kehendaki. Oleh sebab itu, kita dapatkan doa dari para Nabi dan orang-orang
shalih untuk keshalihan anak-anak mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, ada seorang
lelaki yang mengadukan tentang anaknya kepada Thalhah bin Musharrif Radhiyallahu
'Anhu, maka Thalhah berkata kepadanya, "Minta tolonglah dalam masalah
anakmu dengan ayat,
رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Ya Tuhanku,
tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan
kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh
yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada
anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. Al-Ahqaf: 15)
Memperbaharui Taubat
Usia 40 tahun haruslah menjadi titik tolak dan
perbaharuan taubat penyesalan seseorang atas dosa-dosa dan kufur nikmat selama
hidupnya. Kerana pada usia ini benar-benar telah merasakan banyaknya nikmat dan
tidak sebandingnya rasa syukur terhadapnya. Maka pengakuan dosa pasti akan
mengalir dari orang yang mahu merenungkan masa lampaunya, sehingga dari itu
lahir penyesalan, tumbuh istighfar dan taubat kepada Allah.
Oleh sebab itu, disebutkan dalam doa di atas,
إِنِّي
تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Sesungguhnya
aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri." (QS.
Al-Ahqaf: 15)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
"Dan di dalamnya terdapat petunjuk bagi orang yang sudah berusia 40 tahun
agar memperbaharui taubat dan inabah kepada Allah 'Azza wa Jalla serta
bertekad kuat atasnya." Dia harus terus meningkatkan amal solehnya saat usianya
menginjak 40 tahun sampai ajal menjemputnya. Wallahu Ta'ala A'lam.