Friday, October 7, 2011 | By: Sebutir Kasih Sejuta Sayang

~Ku Titip Cinta Ku Pada-Nya~

Muhammad Aqil Al Fatih... Itu nama salah satu mahasiswa sekaligus seniorku. Mahasiswa lain selalu memanggilnya ‘Aqil’, tapi tidak denganku, aku lebih senang memanggilnya ‘Alfath’. Kebiasaanku mengganti nama orang memang sudah melekat kuat pada diriku.

Kebetulan aku mahasiswa baru di Universiti Islam Antarabangsa. Jadi mau tidak mau aku harus mengikuti “Program Orientasi dan Pengenalan Kampus”  Oh ya, namaku ‘Azzna’, nama lengkapnya ‘Azzatul Khusna’.

Seorang laki-laki bertubuh tidak terlalu tinggi, berhidung mancung dan kalau aku bandingkan dengan laki-laki kebanyakan, dia termasuk laki-laki yang berkulit putih bersih, wajahnya terlihat sangat tenang dan tampan.

Waktu terus berjalan, dari hari pertama, hari kedua, hari ketiga, dan aku merasa ada yang aneh dengan jiwa di hatiku. Diam-diam aku suka memperhatikan seniorku itu, bahkan dengan berbagai alasan aku mendekatinya, terasa hendak selalu dekat dengannya , kerana aku hanya ingin melihatnya lebih dekat, paling tidak dari jarak yang tidak lebih dari satu meter... Dia berdiri tidak jauh dari tong sampah salah satu sudut, dua kali aku mondar-mandir memungut kertas/ plastic yang tidak terpakai, jelas memang aku seperti orang yang gelisah, tapi berlagak tenang.. aku tidak peduli, aku hanya ingin melihat abang senior, just it.

Tiba waktunya para mahasiswa baru harus meminta tanda tangan semua senior-senior. Banyak senior yang baik hati memberikan tanda tangannya tanpa si mahasiswa harus bersusah payah menuruti satu persatu perintah dari senior. Tapi sepertinya hanya aku yang lain, aku sibuk mencari dimana jiwa ku meronta salah satu senior disana. Alhamdulillah, aku melihatnya, ‘Thanks God’, aku langsung mendekati rumunan mahasiswa yang sedang asik meminta tanda tangan dari seorang senior. Dan kini bukan satu meter lagi jarak aku dengan pujaan hatiku ini.

Aku boleh melihat jelas wajahnya, dia berada tepat dihadapanku, aku melihat dia bertanda tangan dengan tenang dan kemas atas nama ‘Muhammad Aqil Al Fatih’. Itu namanya, sekarang aku sudah tau siapa namanya. Nama yang indah seperti keindahan yang terpancar dari wajahnya. Dan tertanam dalam diriku, aku tidak mau melepaskan kesempatan itu, setelah mendapat tanda tangannya, aku masih tetap berdiri tegap disana, memandangnya dengan kekaguman yang luar biasa, mengagumi ciptaan Allah dengan jantung yang terus berdetak kencang hanya Tuhan sahaja yang tahu.

Hari ke’empat, sekaligus hari terakhir yang kami ikuti, aku dan mahasiswa lainnya, senang, sedih bercampur seperti ada yang tidak selesa dibenakku. Pukul dua petang, seorang wakil pelajar memberikan ucapan terakhirnya. Aku mendengarkan dengan seksama, tetapi otakku terhenti saat aku menyadari ‘Muhammad Aqil Al Fatih’ berdiri disamping kursi yang sedang kududuki. ‘Ya Allah, Abang Alfath’,.. aku terpekik pelan, aku terlalu senang dengan detik ini, detik yang memporak-porandakan otak dan hatiku.

Aku menjatuhkan penku, bertujuan agar Abang Alfath bersedia mengambilkan untukku, dan aku kecewa.. pen itu tidak jatuh di hadapannya tetapi tersasar kekerusi sebelah. Entah apanya yang salah, tanganku yang terlalu berdosa atau memang penku yang sedang tidak mood bekerjasama denganku. Pen itu meluncur dengan tidak terkawal. Hasil perbuatan itu, seorang laki-laki bertubuh agak kurus yang duduk disitu baik hati mengambil pen itu untukku. ‘terima kasih’.. itu yang aku ucapkan pada lelaki itu dengan imbuhan senyum malu tapi’ tatap manis.

Ketika hari terakhir, jadi malamnya diadakan acara ‘malam penutupan’. Panjang ceritanya aku boleh dapat nomor HP Abang Alfath, tetap dengan berbagai alasan aku berikan, yang sesuai dia adalah senior agar senang untuk membantu aku yang masih baru disini dan aku sudah mula ber’sms’ dengannya, yang aku tau sekarang, dia orang yang cukup pendiam, kaku seperti robot, atau memang kerana aku yang belum mengenalnya lebih dekat. Tapi sungguh tenang, sikap abang Alfath yang seperti itu aku suka dengan caranya dan memberikan semangat padaku.

Dengan adanya abang Alfath, tidak setiap saat aku boleh bertemu dengannya. Kami memang ber’sms’, tapi bukan berarti kami jadi dekat atau duduk sentiasa dekat, kalaupun tidak sengaja aku bertemu dengannya, tidak ada tegur sapa sama sekali, masih hanya melalui sms, aku mulai tidak tertahan lagi rinduku, aku ada berikan salah satu “sms” rayuan terbaikku padanya,

“Ehm.. kalau boleh jujur, ada satu hal yang aku suka dari abang, aku suka mata abang, indah,, bersinar,, aku boleh panggil abang bintang?”. . bagaimana menurut abang?Dari situ abang Alfath mulai menjawab, aku tidak tau itu harapan atau hanya sekadar gurawan saja. Abang Alfath juga mulai tidak henti-henti membalas “sms” kata-kataku, kami boleh lebih saling mengenal satu sama lain, dengan berbagai pertanyaan yang bertujuan memancing sang idola ku kukerahkan satu persatu, hingga aku tau banyak tentang abang Alfath, dari makanan favorit, minuman favoritnya sampai hal terkecil aku berusaha untuk mengetahuinya. Dia terlihat lebih menyenangkan bila seperti ini.
And all my love
I’m holding on forever
Reaching for the love that seem
So far..
So i say a little prayer
Andhope my dream will take me
There
Where the skies are blue
To see you once again my love
Oversees from coast to coast
To find the place i love the most
Where the fields are green
To see you once again my love



Lirik lagu favoritku ‘westlife-my love’ persis menggambarkan perasaanku saat ini.
Empat hari berlalu, Akhirnya aku kembali dirumah. Aku masih bingung dengan perasaanku kepada abang Alfath. Aku terus memikirkannya, dan itu membuat hatiku tidak tenang. Selesai shalat maghrib, aku menengadahkan tanganku pada-Nya.

“Ya Allah,, Ya Rob,, nama abang Alfath sungguh semakin melekat dihati ini, aku pernah merasa kebencian yang pada mulanya angapanku abang Al Fatih sombong kini kebencian yang pernah tertanam pada diri hamba kepada abang Alfath sudah tidak ada dihati hamba, kebencian itu lantas menjadi jembatan untuk hamba masuk kedalam hati abang Alfath, tentu hamba hanya ingin selalu melihat abang Alfath dalam keadaan yang baik, berikanlah yang terbaik untuknya, amiinn..”

Didalam bait doaku, aku selalu melampirkan nama abang Alfath, perasaanku akhir-akhir ini gelisah tidak melihat abang Alfath. Ini pertama kali aku merasakan hal aneh seumur hidupku. Apa aku jatuh cinta? Entahlah.. sepertinya begitu. Semakin hari aku semakin tersiksa dengan perasaan ini, aku menangis dalam keheningan malam-malamku. Dadaku terasa sesak bila terus menerus sepeti ini, cinta pertama yang kualami terasa menyesakkan. Bukan hanya perasaanku, tapi semua yang aku punya untuk mencintai abang Alfath, semuanya terasa sakit. Kembali aku berdoa pada shalat tahajud yang aku lakukan,
“Maha Suci Allah.. Engkau yang tau perasaan hamba, sungguh sampai saat ini, hamba tidak bisa berhenti memikirkan abang Alfath,” tanpa kusadari air mata jatuh berguguran, “Apa hamba salah jika hamba mengharapkan abang Alfath mempunyai perasaan yang sama? Apa hamba terlalu egois jika hamba berpikir seperti itu? Tunjukan jalanmu Ya Allah..”

Memikirkan orang yang kusayang, terlebih lagi ini cinta pertamaku, itu sangat menyedihkan. Apa yang harus kulakukan agar abang Alfath boleh sedikit membuka hatinya untukku?

Beberapa hari ini aku mencari khabar tentang abang Alfath melalui teman-teman seangkatannya. Kini aku tau, wanita seperti mana yang boleh menarik hatinya. Aku memulai dengan merubah penampilanku menjadi lebih feminim, semua orang tau aku bukan perempuan yang boleh dikatakan feminim, bahkan sangat jauh dari itu, aku lebih sering memakai pakaian bersesuaian cita rasa apa yang abang Alfatih suka.

Malam ini aku memberanikan diri untuk menanyakan suatu pada abang Alfath melalui ‘sms’ yang aku kirimkan padanya, aku juga bukan perempuan yang suka berlama-lama memendam perasaan. Ini sms yang aku kirimkan,

“Abang, apa abang sudah punyai pasangan?”. Seketika aku merasa bodoh menanyakan hal itu, tapi inilah tujuan utamaku. Azzna!.. apa kamu siap sedia dengan jawapan abang Alfath nantinya? Bagaimana kalau jawapannya hanya membuat kamu semakin sakit dihati? Apa yang akan kamu lakukan? Menangis dan terus-terusan mengadu pada Sang pemberi hidup? Bisikku pada diriku sendiri. Dengan perasaaan kacau aku menunggu balasan ‘sms’ dari Abang Alfath. Getar HP menghentikan segala pertanyaan aneh yang meraung-raung meminta jawapan diotakku. Bismillah.... sembil membuka sms itu,

“Ya, Abang sudah punyai pasangan dik, dikampung.” Degggg.... kali ini bukan lagi sakit yang aku rasa, tapi rasa nyeri yang tidak terkawal ku rasa, aku merasa berdosa telah menyukai dan berharap pada orang yang sudah punyai perempuan lain. Air mataku sekejap sahaja sudah bercucuran menolak kenyataan ini. Apa aku menyesal bertanya seperti ini? Kenapa aku harus menanyakan hal ini? Kenapa abang Alfath tidak mengerti perasaanku? Kenapa semuanya tidak berpihak padaku? Berbagai kata ‘kenapa’ memenuhi otakku kini. Sms ini tidak aku teruskan, aku tidak mau mendengar pernyataan selanjutnya yang akan abang Alfath ucapkan. Aku hanya ingin tidur, yahh.. dengan tidur aku boleh melupakan semuanya, sakit hati, air mata, semuanya...

Paginya aku kembali terbangun, tepat empat pagi aku mengambil air wudhu. Shalat tahajudku kali ini terasa berbeza, kerana mataku sedikit terjanggal, mataku terlihat sangat sebam, efek dari tangisan semalam. Tiba saatnya aku memanjatkan doa selesai shalat,

“Engkaulah tempat terbaik untuk mengadu, hanya Engkau penenang hati dan jiwaku saat ini, Ya Allah kenyataan ini sungguh sangat menyakitkan, hamba mencintai abang Alfath sebesar yang Engkau ketahui, atas dasar keridhoanmu, hamba boleh mencintainya seperti ini. Sepenuhnya hamba titipkan cintaku pada-Mu, lindungilah abang Alfath...”
Satu minggu setelah itu, aku mendapati khabar bahwa ayahku harus berpindah kerja di Utara, aku dan keluargaku terpaksa ikut pindah, dan kuliahku juga harus terhenti, mungkin aku memang harus memulainya di UUM berdekatan sedikit, kerana ayah akan bekerja di Kedah.

Masih ada waktu untuk aku menulis surat untuk Abang Alfath, kerana hanya dia yang pertama kali kuingat sebelum perpindahanku ini.

Pagi pukul tujuh, Airin teman baikku dikampus kerumahku, seperti halnya seorang sahabat, ia menemuiku mengucapkan salam perpisahan sebelum ia pergi kuliah. Tidak lupa aku menitipkan suratku itu pada Airin, Airin yang mengerti benar bagaimana awal cerita aku membenci hingga menyukai abang Alfath sekaligus sahabat terbaik yang aku miliki.

Kereta avanza berwarna silver milik Ayah’ku sudah datang, Ayah’ku yang akan mengantarkan aku dan keluargaku menuju Negeri Jelapang Padi Kedah Darul Aman. Pelukan hangat dari Airin membuatku tenang.
“Hati-hati.. jaga dirimu baik-baik.. .” ucap Airin padaku dengan mata berkaca-kaca.
“Iya Rin, jangan nangis.. makin comot tau.” Balasku dengan tetap terlihat cool.
“Sabar ya..”
“Aku baik, makanya selalu doakan aku supaya selalu baik agar kita boleh bertemu lagi satu hari nanti.” Kataku dengan sedikit menahan tangis, meski aku tau yang Airin maksud memang bukan jasadku, melainkan sakit hatiku.

Aku dan keluargaku berangkat.
Sekarang aku sudah berada dipersimpangan jalan besar, Airin pasti sudah bertemu dengan abang Alfath dan memberikan suratku.
“Assalamualaikum abang Alfath...
Memory pemikiranku seolah tidak berhenti memutar setiap kenangan tentang abang Alfath sewaktu aku menulis surat ini. ‘Muhamamad Aqil Al Fatih’.. mungkin ini kali pertama aku menyebut nama abang dengan penuh bermakna di hatiku, dan aku tidak pernah berharap menjadi yang terakhir kalinya, kerana aku berkeinginan suatu saat nanti tepat berdiri dihadapan abang, aku boleh menyebutkan nama abang dengan lengkap berkali-kali, walaupun hal itu dirasa sukar, kerana bahkan aku tidak tau boleh bertemu abang lagi atau tidak.
Abang tentu ingat pertama kali aku meminta izin ingin memanggil abang ‘bintang’..? pada saat itulah aku merasakan perasaan itu, perasaan yang mungkin orang biasa menyebutnya dengan cinta.. . aku cukup bersyukur boleh mengenali abang, tidak ada sedikitpun penyesalan yang aku rasa. Sampai akhirnya aku tau sudah ada perempuan beruntung yang memiliki abang. Sumpah, demi tiap tetes air mataku, walaupun berat menerima kenyataan itu, kenyataan yang menghancurkan hati dan jiwaku. Satu detik dimana aku rasa, aku telah benar-benar mencintai abang. Tapi ada hal yang paling rendah dan berdosa, yaitu kalau aku iri dengan perempuan yang sudah memiliki hati abang. Aku sedar, hidup itu pilihan, sama seperti cinta, aku boleh memilih melupakan abang atau tidak sama sekali, dan dua-duanya tetap ada risiko. Aku hanya ingin melupakan hal yang boleh aku lupakan dan tidak ingin memaksakan diri untuk melupakan hal yang sukar untuk lupakan, dan itu adalah tentang abang.

Jangan timbulkan pertanyaan kenapa aku menyukai abang, kerana sampai nafasku berhenti berhembus, aku tidak akan pernah mengetahui alasan kenapa aku menyukai abang, aku hanya tau sebuah rasa yang tulus ialah segunung rasa yang tidak beralasan.
Abang seperti permata untukku, permata yang sedikit banyak sudah mengajarkan arti kedewasaan, mengikhlaskan sesuatu yang belum berpihak padaku, berubah menjadi yang lebih baik, dan semuanya. Terimakasih dan maaf.
Wassalam... .”

Dering HP menghentikan lamunanku. ‘Airin’.. . ada apa dia menalefonku.
“Hallo, assalamualaikum ..” ucapku.
“Walaikumsalam.. .Azzna, aku mohon sekarang kamu berpatah balik, Abang Aqil ingin menemuimu.” Dengan suara yang terdengar terdesa-desa.
“Tapi....”
“Aku mohon. ..” pinta Airin. “Hanya kali ini, aku yakin keluargamu akan mengerti.”

Lima minit lamanya aku berjaya memujuk orang tua agar berpatah balik. Setelah setengah jam perjalanan, aku sampai diKampus, kerana tadi Airin sempat sms menyuruhku terus ke Kampus. Jantungku berdegup kencang sekali. Didepan salah satu ruangan, aku melangkahkan kakiku perlahan. Banyak orang disana, terlihat Airin menghampiriku.
“Azzna..,..” kemudian Airin terdiam.

Langkah kakiku membuat orang-orang disana beralih melihat kearahku. Aku melihat seorang laki-laki terbaring lemah ditengah-tengah rumunan orang yang sekarang melihat kearahku. Aku mendekati laki-laki itu, jantungku tidak lagi berdegup kencang, tapi serasa berhenti melihat laki-laki yang sekarang sudah berada didepanku. ‘Abang Alfath’.. . wajahnya terlihat nyata berbeza namun tetap bercahaya.
‘Sabar Azzna..,’ aku seperti mendengar sayup-sayup suara Airin, dan beberapa isakan tangis orang-orang disekitarku.

“Abang Alfath. .. kenapa abang  terbaring berselimut bagai kedinginan? Udara sangat panas diluar, dan bukannya abang pernah cerita kalau abang sangat menyukai warna coklat? Abang berkata hampir semua barang-barang kepunyaan abang bewarna coklat, tapi kenapa sekarang abang memakai selimut putih ini?” ucapku.

“Abang juga berbohong hari ini, abang pernah cerita yang abang suka sekali dengan jus mangga, bahkan abang selalu menolak jika diberi minuman selain jus mangga, tapi kenapa air yang meleleh dibibir abang bewarna merah? Itu bukan seperti warna jus mangga kerana ia juga keluar dari hidung dan telinga abang juga sama berwarna merahnya.”

Aku berusaha mendekatkan telingaku pada hidung mancung abang Alfath, dan memejamkan mataku, cuba merasakan hembusan nafasnya.
“Abang, kenapa abang menahan nafas seperti ini? Tolong jawab abang.” Kataku sambil menahan tangis.

“Setelah membaca suratmu, Abang Aqil sudah berusaha mengejarmu, Abang Aqil berkata, dia hanya ingin mendengar semuanya dari kamu sendiri, tapi takdir berkata lain, motor yang ditunggang abang Aqil terbabas dan semua ini terjadi. Semuanya terlambat sebelum dibawa ke Hospital.” Ucap Airin dengan sedikit terisak.
Kali ini tangisku benar-benar memecah suasana. .. Aku memang sudah sepenuhnya menitipkan cintaku Pada-Nya..Namun begitu juga tak pernah lekang cintaku pada abang Alfath..Namun kini abang Alfath sudah pergi untuk selamanya, tapi di hatiku dia tetap bersamaku abadi selamanya.. . ~Nukilan Mohd Rusdi Ramlee~






Comments
0 Comments
    
    

0 comments:

Post a Comment